Penulis sebagai Jembatan Rasa: Dari Burgundy ke Soju Lokal Rasa Leci

I

Malam itu, temanku, Bonnie, baru saja bercerita tentang minuman soju lokal—varian minuman beralkohol ringan yang mencoba menangkap nuansa Korea dalam botol-botol produksi lokal. Aku yang penasaran, meminta dia mendeskripsikan rasanya. Dalam bayanganku, dia akan memberi jawaban yang menggugah: ada lapisan rasa buah, sedikit sentuhan fermentasi, atau mungkin kehangatan yang pelan-pelan merambat ke dada.

Tapi ternyata, jawabannya hanya: “Mirip larutan rasa leci. Tapi panas, dan bikin pusing.”Aku tertawa. Ekspektasiku yang tinggi langsung ambruk begitu saja. Tentu aku protes. Masa iya rasa minuman yang digadang-gadang itu cuma begitu? Rasanya terlalu… dangkal. Aku menginginkan deskripsi yang bisa mengaktifkan seluruh indraku. Padahal aku sendiri tidak pernah mencicipi minuman beralkohol, karena pilihan prinsip. Tapi justru itu membuatku semakin penasaran—apa sih rasa yang katanya begitu berkarakter itu?

Obrolan kami pun merembet ke topik wine. Mulai dari anggur merah lokal, sampai ke Burgundy wine—minuman legendaris yang harganya bisa menyamai sebuah mobil mewah. Di titik itu, aku mulai bertanya dalam hati: bagaimana mungkin rasa bisa dinilai semahal itu? Dan mengapa ada yang menggambarkannya sesederhana “larutan leci”?

Lalu aku sadar—ternyata banyak orang belum sempat mencicipi rasa tertentu. Bukan karena tak mau, tapi karena belum terpapar. Belum sempat tahu. Belum diberi jalan. Atau sepertiku, karena sebuah prinsip. Lantas, siapa yang akan membawa rasa itu kepada mereka? Siapa yang bisa menghidupkan pengalaman yang belum dialami?

Di sinilah aku merasa: penulis punya peran penting sebagai jembatan rasa.

🍷 Membayangkan Rasa yang Tak Pernah Dicicipi

Setelah obrolan itu, aku duduk sendiri, mencoba membayangkan rasa Burgundy wine—minuman yang belum pernah kusentuh. Dalam kepalaku, rasanya pasti rich, berlapis, ada campuran wild berries, pine tree, dan kayu tua atau kayu lapuk. Mungkin ada sedikit rasa asam, manis, juga pahit. Sensasi hangatnya menyebar pelan dari ujung kerongkongan, ke dada, lalu ke perut seperti jahe di musim hujan—hangat, tapi bukan yang menyakitkan. Hangat yang terasa seperti pelukan selimut di hari paling dingin.

Lucu, ya. Aku bahkan belum pernah meminumnya. Tapi aku bisa membayangkannya dengan cukup detail. Dan di situ aku sadar: menulis bukan sekadar menyampaikan apa yang sudah kita alami, tapi membayangkan dan menerjemahkan apa yang belum sempat kita rasakan—agar orang lain bisa ikut merasakannya juga.

✍️ Penulis sebagai Penerjemah Rasa

Untuk bisa membagikan rasa, seorang penulis tidak harus mengalami semuanya secara langsung. Kadang kita menulis dari empati, dari hasil menyimak, dari kepekaan terhadap dunia di sekitar. Imajinasi kita—yang dipenuhi bahan bacaan, obrolan, dan pengamatan—bisa menjelma jadi rasa. Dan rasa itu, meski tak kasat mata, bisa mengendap kuat dalam tulisan.

Menulis adalah cara kita menyeruput kehidupan. Mencicipi yang tak tertulis. Membagi rasa yang terlalu halus untuk dikenali orang lain.

Maka dari itu, tugas kita bukan sekadar menjelaskan apa itu Burgundy wine secara teknis. Tapi membuat pembaca merasakan seolah mereka pernah menyesapnya—lewat narasi yang mengalir, dialog yang hidup, dan perbandingan yang membumi.

🎯 Menjembatani Rasa: Tips untuk Penulis

Namun, sekuat-kuatnya imajinasi kita, tetap ada tantangan saat menghadirkan rasa pada pembaca awam. Sebagus apa pun deskripsinya, jika tidak relate, maka rasa itu tidak akan sampai.

Contohnya begini: kamu menulis tentang Burgundy wine untuk pembaca remaja yang bahkan tak tahu harga wine per botol. Kalau kamu bilang harganya 9 miliar, mungkin reaksi mereka hanya,

“Minuman asem-manis begitu doang? Overpriced amat.”

Padahal, Burgundy bukan sekadar minuman. Ia adalah hasil dari tanah, waktu, cuaca, proses panen, tong tua, dan kesabaran puluhan tahun. Rasa yang bukan cuma ditakar dari lidah, tapi dari kenangan, sejarah, dan cinta generasi.

Nah, agar rasa-rasa seperti itu bisa tersampaikan, berikut beberapa pendekatan yang bisa penulis gunakan:

1. Selipkan informasi dalam dialog ringan

“Itu cuma anggur tua dari lemari nenek!”

“Anggur tua? Itu Burgundy 1960, Bon. Harganya cukup buat DP rumah.”

Artinya: Mahal

2. Gunakan analogi yang akrab

“Burgundy itu Louis Vuitton-nya wine, tapi versi vintage.”

Atau:

“Kayak kaset kakekmu yang cuma dicetak 50 biji di dunia, dan masih bisa diputar.”

Artinya: Langka

3. Bangun muatan emosional

“Nak, pastikan wine ini hanya dibuka saat cucuku menikah.”

Artinya: penuh nilai emosional dan simbolik

4. Hadirkan karakter kontras

Tokoh A: “Ini Burgundy! Limited edition! Butuh 30 tahun buat panennya. Kamu bisa ambil mobilku, tapi jangan sentuh wine ini!”

Tokoh B: “Hmm… rasanya kayak sari tape. Tapi enak juga. Boleh refill?”

🍗 Antara Ayam Marinasi dan Warisan Rasa

Bayangkan adegan ini: seorang cucu menemukan sebotol Burgundy tua. Ia tidak tahu apa-apa, lalu menggunakannya untuk marinasi ayam, karena pernah melihat Chef Gordon Ramsay melakukannya. Ia tak sadar bahwa Ramsay memakai wine produksi massal. Sementara yang ia gunakan, adalah warisan keluarga—Burgundy vintage yang hanya diproduksi dalam jumlah terbatas.

Neneknya hanya terdiam, bukan karena marah, tapi karena tahu: rasa cinta yang sudah mengendap selama puluhan tahun, kini ikut menguap bersama asap penggorengan.

Lucu? Iya. Menyentuh? Juga.

🌉 Menjahit Imajinasi dan Rasa

Pada akhirnya, menulis bukan cuma soal menyusun cerita. Tapi tentang menghadirkan rasa. Tentang menjembatani dunia yang tak dikenal menjadi pengalaman yang bisa dirasakan. Bahkan saat pembaca belum pernah mencicipi wine, mereka bisa tahu bahwa ada sesuatu yang istimewa di baliknya—karena penulis telah menjahit benang imajinasi dan benang rasa jadi satu napas yang hidup.

Dan jika bukan penulis, siapa lagi yang bisa melakukannya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *